A.
Karakteristik Nilai, Moral, Dan Sikap Remaja
Karena
masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari
lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi
Suatu periode yang sangat penting Dalam Pembentukan nilai (Harrocks, 1976; Adi,
1986; Monks, 1989). Salah satu karakteristik remaja sangat menonjol berkaitan
dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai
dan pengembangan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman,
pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan
identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang (Sarwono, 1989).
Pembentukan nilai-nilai baru dilakukan dengan cara identifikasi dan imitasi
terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa saja berusaha mengembangkannya
sendiri.
-
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai
dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir
operasional formal,
-
Tingkat perkembangan fisik dan psikisn yang dicapai remaja yang berpengaruh
pada perubahan sikap dan perilakunya.
B.
Pengertian Nilai, Moral dan Sikap
Dalam
kacamata Spranger, kekuatan individual atau roh subjektif didudukkan dalam
posisi primer karena nilai-nilai budaya hanya akan berkembang dan bertahan
apabila didukung dan dihayati oleh individu. Spranger menggolongkan nilai ke
dalam enam jenis, yaitu:
1. Nilai
Teori/Nilai Keilmuan (I): Dasar Pertimbangan Rasional, kontras dengan nilai (A)
2. Nilai
Ekonomi (E) Dasar Pertimbangan Ada Tidaknya Keuntungan finansial, kontras
dengan nilai (S)
3.Nilai
Sosial/Nilai Solidaritas (Sd) dasar pertimbangan tidak menghiraukan
keberuntungan/ketidakberuntungan, kontras dengan nilai (K)
4. Nilai
Agama (A) dasar pertimbangan benar menurut ajaran agama, kontras dengan nilai
(I)
5. Nilai
Seni (S) dasar pertimbangan rasa keindahan/rasa seni terlepas dari pertimbangan
material, kontras dengan nilai (E)
6. Nilai
Politik/Nilai Kuasa (K) dasar pertimbangan kepentingan diri/kelompok, kontgras
dengan nilai (Sd) (Mohammad Asrori, 2008:153-154)
C.
Perkembangan Moralitas
1.
Moralitas dapat didefinisikan sebagai cara.
2.
Moralitas memiliki tiga komponen, yaitu komponenafektif, kognitif, dan
perilaku.
3.
Komponen afektif moralitas (moral affect)
Berdasarkan
penelitiannya itu, Kohlberg (1995) menarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut:
a)
Penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional.
b)
Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal
harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan moralnya.
c)
Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun
telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral.
D.
Pengertian Agama, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
Agama
dari sisi etimologi berasal dari bahasa Yunani ”a” yang berarti tidak dan
”gama” yang bermakna kacau balau, carut marut, tak teratur. Sehingga agama
ialah suatu tatanan yang berfungsi memberikan keteraturan. Sementara dari sisi
terminologi,
Sehingga
unsur-unsur Agama memuat:
a. Agama
disebut jenis sistem sosial.
b. Agama
berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris
c.
Manusia mendayagunakan kekuatan-kekuatan di atas untuk kepentingannya sendiri
dan masyarakat sekitarnya.
E.
Hubungan Antara Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan
Nilai
merupakan tatanan tertentu atau kriteria di dalam diri individu yang dijadikan
dasar untuk mengevaluasi suatu sistem tertentu. Pertimbangan nilai adalah
penilaian individu terhadap suatu objek/sekumpulan objek yang lebih mendasarkan
pada sistem nilai tertentu daripada hanya sekedar karakteristik objek tersebut.
Moral
merupakan tatanan perilaku yang memuat nilai-nilai tertentu untuk dilakukan
individu dalam hubungannya dengan individu lain/kelompok/masyarakat. Moralitas
merupakan pencerminan dari nilai-nilai dan idealitas seseorang. Dalam moralitas
terkandung aspek-aspek kognitif, afektif dan perilaku, sedangkan sikap
merupakan predisposisi tingkah laku/kecenderungan bertingkah laku yang
sebenarnya, juga merupakan ekspresi/manifestasi dari pandangan individu
terhadap suatu objek/sekumpulan objek. Sikapmerupakan sistem yang bersifat
menetap dari komponen kognisi, afeksi, dan konasi.
F
. Konsep Perkembangan Moral dan
Keagamaan Anak
Piaget
mendefinisikan tahap perkembangan moral sebagai berikut:
(1)
Pre-moral
(2)
Heteronomi
(3)
Autonomi
Dalam
perkembangan moral itu titik heterotomi dan autonomi lebih menggambarkan proses
perkembangan dari pada totalitas mental individu. Melalui pergaulannya anak
mengembangkan pemahamannya mengenai tujuan dan sumber aturan. Sampai usia tujuh
atau delapan tahun anak dikendalikan oleh seluruh aturan. Terhadap aturan yang
berasal dari luar, anak belum memiliki pengertian dan motivasi untak konsisten.
Pada tahap autonomi anak menyadari akan aturan dan menghubungkannya dengan
pelaksanaannya. Tahap berikutnya adalah pelaksanaan autonomi.
G.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan
Keagamaan Anak.
Nilai,
moral dan sikap serta perilaku keagamaan adalah aspek-aspek yang berkembang
pada diri individu melalui interaksi antara aktivitas internal dengan pengaruh
stimulus eksternal. Pada awalnya seorang anak belum memiliki nilai-nilai dan
pengetahuan mengenai nilai moral tertentu atau tentang apa yang dipandang baik
atau tidak baik oleh kelompok sosialnya.
Faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, sikap dan
perilaku keagamaan individu itu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya dan
fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun
masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi, pola kehidupan beragama,
berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral, sikap dan perilaku
keagamaan individu yang tumbuh dan berkembang di dalamnya.
Remaja yang tumbuh dan berkembang di
dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang penuh rasa aman secara
psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola asuh bina kasih, dan relegius
dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki nilai luhur, moralitas
tinggi, serta sikap dan perilaku keagamaan yang terpuji. Sebaliknya, individu
yang tumbuh dan berkembang dalam kondisi psikologis yang penuh konflik, pola
interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang penuh otoriter dan permisif, dan
kurang relegius, maka harapan agar anak dan remaja berkembang menjadi individu
yang memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, sikap dan perilaku keagamaan
yang terpuji menjadi diragukan. (Mohammad Asrori, 2008:164-165)